Tuesday, August 28, 2012

Kota Hujan Tempat Bermukim


(Tulisan Pendukung Display Properti, Koran Tempo 16 Agustus 2012)

Bogor telah lama menjadi tempat istirahat di zaman Kolonial, berkembang menjadi kawasan penyangga dengan sejumlah daya tarik sebagai lokasi hunian.

Aktivitas perekonomian di Jakarta yang berkembang pesat, menimbulkan banyak pula kebutuhan akan hunian. Dan meskipun kini bermunculan apartemen di tengah kota, namun masih banyak yang memilih tempat tinggal di Depok, Bogor, Bekasi dan Tangerang dengan alasan luasan tanah memungkinkan untuk memilih landed house.

Dalam memilih rumah memang banyak pertimbangan. Mulai dari pemilihan lokasi dengan akses terjangkau, suasana, fasilitas pendukung termasuk sarana dan prasarana umum, serta ketersediaan lingkungan hijau.

Kota Bogor menjadi salah satu alternatif daerah perumahan dengan adanya akses Tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) bagi kendaraan roda empat, atau jalur non-tol Parung-Ciputat, selain bisa menggunakan moda transportasi umum seperti bus dan kereta api.

“Selain sudah tinggal di Bogor sejak kecil, udara lebih segar dan kondisi air bagus. Suami yang bekerja di Jakarta, bisa bawa mobil via tol atau kereta api,” alasan Rini, 45 tahun, ibu rumah tangga yang bermukim di utara Bogor.

Kondisi kualitas air dan udara yang segar juga dikemukakan oleh Chief Marketing Officer Bogor Nirwana Residence (BNR) Atang Wiharna, selain kondisi hunian Bogor yang lebih eksklusif. “Apalagi dengan kondisi landbank Kota Madya Bogor terbatas dan harga tanah lebih tinggi otomatis menyebabkan harga jual lebih tinggi. Harga rumah per unit bisa di atas Rp 600 juta,” ujarnya saat ditemui di Bogor pada Senin 6 Agustus 2012.

Perumahan yang memiliki total lahan seluas 1200 hektare, untuk pengembangan unit klaster baru di semester II-2012 ini saja mematok harga mulai dari Rp 800 juta dengan luas tanah sebesar 126 meter persegi dan luas bangunan sekitar 110 meter persegi.

Atang juga berkilas balik, Kota Hujan ini memang dibentuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai kawasan istirahat dengan suasana kota lebih teduh, selain faktor  pemerintah kota tidak agresif memberi izin kepada developer untuk mengembangkan wilayah perumahan di sekitar Kota Madya.

Membeli rumah juga tidak sekadar memenuhi kebutuhan primer akan tempat tinggal. Juga sebagai sarana investasi yang diharapkan memiliki return atau nilai jual kembali cukup baik. Atang menyebutkan normalnya nilai tambah (added value) properti biasanya meningkat 15-20 persen per tahun, bahkan bisa mencapai 40 persen dalam setahun. “Tapi untuk mencapai nilai jual kembali meliputi berbagai faktor. “Pilihlah pengembang yang masih memiliki lahan luas, sehingga minimal pengembang tidak hanya menyediakan rumah, akan tetapi hunian yang memadukan konsep one stop living, sehingga tidak hanya untuk hunian, tapi di kawasan tersebut ada areal komersial, pendidikan, rumah sakit dan area penghijauan,” ujarnya.

Menurut Atang, BNR saat ini menggarap sepertiga dari total lahan, atau baru sekitar 400 hektare, sejak 2002. Sejauh ini telah tersedia antara lain area hiburan dan gaya hidup Orchard Walk, pusat kebugaran dan bowling center, The Jungle, dan menyusul Universitas Bakrie dan rumah sakit.

“The Jungle adalah wahana tematik bagi keluarga dengan 13 wahana diluar 4D Cinema. Pada awalnya dibangun sebagai fasilitas penghuni, namun animo pengunjung luar untuk datang cukup tinggi,” kata Promotion Supervisor The Jungle Winda Okta N. secara terpisah. 

Bogor memang dikenal sebagai tempat wisata akhir pekan, dengan daya tarik Kebun Raya Bogor, Museum Zoologi, factory outlet dan destinasi wisata kuliner. Selain itu pembangunan Jalan Tol Lingkar Luar Bogor atau Bogor Ring Road juga turut memudahkan para commuter mencapai Jakarta, sekaligus mendongkrak perluasan pembangunan properti di sekitar lintasan jalan tol yang melingkari Kota Bogor, menghubungkan Sentul Selatan hingga Dramaga.
(DEWI RETNO)

No comments:

Post a Comment