Tuesday, October 18, 2011

Belajar dari Cara Menkes Memberi Pidato Sambutan yang Menarik

Selasa 18 Oktober 2011 saya datang ke sebuah acara yang berlangsung di kawasan Thamrin Jakarta Pusat. Acara tersebut diselenggarakan oleh sebuah optik  terkemuka di Indonesia dan saya tentu hadir dalam kapasitas sebagai penulis iklan (copywriter). Optik tersebut mengadakan kontrak kerjasama pembuatan advertorial.

Acara berupa donasi kacamata bagi 1000 anak-anak ini dalam undangan ditulis berlangsung dari jam 09.30 pagi, namun ternyata hingga hampir jam 11.00 wib acara belum mulai. Semua sudah gelisah. Tamu-tamu cilik alias murid-murid sudah tampak suntuk dan adapula yang sempat menangis resah sehingga ditenangkan oleh guru. Rombongan anak Sekolah Dasar yang berasal dari Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Pusat itu padahal sudah datang dari jam 8.00 wib.

Ngaret terjadi karena menunggu tamu kehormatan yang terdiri dari Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH dan istri Gubernur DKI Jakarta, Tatiek Fauzi Bowo yang juga menjabat sebagai Kepala Penggerak PKK Provinsi DKI Jakarta, belum juga datang.

Anak-anak media pun mulai bosan. Kami bahkan melemparkan joke mungkin ibu-ibu itu masih sibuk mensasak rambut. Dan ketika rombongan datang tepat jam 11.00 wib, otomatis mata saya mengarah pada kepala. ”Hey.. kedua ibu ini tidak mengenakan sasak atau sanggul tinggi,” batinku.

Kedua ibu berambut pendek. ”Ohhh bukan sasakan dong yaa....”.

Setelah pidato pembukaan dari Lions Club, Menkes Endang Rahayu maju ke podium untuk memberikan kata sambutan. Saya belum pernah meliput acara dengan Menkes ini sebagai pemberi pidato sambutan. Saat melihat parasnya saat maju ke podium, saya membayangkan seorang yang tegas, dan gaya tenang memberikan salam pembuka dan sebagainya hingga Menkes berkata, ”Adik-adik kok wajahnya lesu. Sudah datang jam berapa kesini?”

Anak-anak itu secara polos menjawab nyaring datang pada jam 8.00 wib. Ibu berkacamata itu tersenyum tipis dan berkata, “Maaf tadi saya harus ke Jakarta Timur dulu untuk meresmikan imunisasi campak dan polio. Kalau kacamata ini untuk anak Sekolah Dasar (...dia ingat garis besar Donasi ditujukan bagi anak SD....). Adik-adik sudah dapat imunisasi? Lupa ya karena masih kecil. Bedanya imunisasi ini untuk anak balita. Di rumah coba tanyakan apa adik kecilnya sudah dapat imunisasi itu bedanya kalau campak berbentuk suntikan, sedangkan polio dalam bentuk tetes yang manis rasanya,” suaranya tenang menjelaskan.

Saya pribadi pun menjadi duduk manis menyimak. Sebagai audiens saya tertarik dengan caranya minta maaf atas keterlambatannya dan masuk ke bahasan lain yang membuat kita mulai lupa ‘kesalahan terlambat’ dan menggiringnya ke topik lain yang informatif.

Menkes lalu menyinggung slide presentasi yang ditampilkan sebelumnya, dan menyebutkan kalau gambaran khas tentang anak-anak adalah senyumnya. Kemudian Menkes mengajak anak-anak tersenyum bahkan tertawa memamerkan gigi. ”Tidak ompong ternyata,” kurang lebih dia berkata demikian. Anak-anak ketawa. Apa ini maksudnya menyindir sekedar cari lelucon? Ternyata ibu itu menjelaskan anak berusia kelas 1-2 SD khas dengan 2 gigi besar di depan atau gigi kelinci, sedangkan yang tertawa di hadapannya punya tampilan gigi rapi sehingga dia memperkirakan kelas 4 s/d 6 yang kemudian diamini pihak Optik kalau anak-anak yang hadir duduk di kelas 3, 4, dan 5.

*she got the clue: blend her medicine background into information to the public.

Saya kembali terpesona…. Wanita itu memasukkan informasi yang membuat kita manggut-manggut dan membatin, “panteslah dia mengerti..wong dia dokter,” … intonasi suaranya tegas sekaligus tenang. Dengan artikulasi yang jelas.

Menkes secara akrab menasehati murid sekolah dasar itu resep mata sehat, yaitu agar tidak membaca buku di dalam kondisi pencahayaan ruangan yang kurang.

Ia melanjutkan himbauan kepada guru atau kepala sekolah yang mendampingi murid-murid agar memperhatikan pencahayaan di ruangan dalam kelas. “Jangan memilih cat tembok berwarna gelap, lebih baik warna terang. Hal lain yang bisa diupayakan pencahayaan langsung matahari dan atap tinggi,” katanya.

Endang pun menyisipkan kinerja kementerian dengan mengatakan tahun depan akan memasukkan  penyakit gigi dan mata sebagai salah satu yang dicegah dalam program kampanye promotif dan preventif penyakit tidak menular.
Saya merasa selama berpuluh kali meliput, baru kali menemukan gaya pidato menteri yang rileks, tidak perlu text-minded,  tidak harus angka-angka kinerja perusahaan (kementerian/departemen), dan gaya yang tenang.

Saya membagi pengalaman ini murni karena (merasa) gaya pidatonya bisa menjadi masukan ketika kita menjadi pembicara di depan audiens. Berikut tips yang coba kurangkum:
- Sebagai perempuan tidak perlu bergaya orator berapi-api (karena kodrat perempuan suaranya jg tidak mungkin bariton tinggi menggelegak),
- masukkan humor atau informasi ringan yang mengena,
- sikap diri yang tenang
- tahu audiens-nya siapa... terlihat Ibu Menteri ini lebih memusatkan pidato kepada audiens cilik yang berada di samping kanan saat ia berdiri di podium. Endang Rahayu menyampaikan informasi yang menarik perhatian anak-anak (baca: audiens-nya) bak guru TK mendongengkan cerita khayal yang bukan pengantar tidur, melainkan membuat anak menyimak apa akhir dari cerita,
- Dia juga berhasil ‘menyihir’ rekan-rekan lain dari bangku media dan penyelenggara acara. Ingat: fokus pada salah satu sayap peserta tapi sebagai pemberi pidato dia juga sesekali melakukan sapuan mata ke seluruh audiens yang hadir di dalam ruangan. 


(Gambar dikutip dari: SINDO)