(Eno, 10-3-2008)
Pernahkah kamu ‘mati ide’ dalam membuat tulisan? Saya sih pernah, bahkan sering. Makanya pekerjaan kantor berulangkali saya selesaikan menjelang tenggat (deadline). Atau ketika blog saya lama terbengkalai, tidak ada postingan baru gara-gara tidak punya ide.
Padahal, sebenarnya ’ide’ bisa diperoleh dari mana saja dan kapan saja. Ketika tengah menikmati siraman air di saat mandi, membaca buku, menonton televisi, mendengar berita di TV atau radio, bahkan saat terjebak dalam kemacetan.
Masalahnya, bagaimana agar ide tersebut tidak hilang begitu saja. Dan, akhirnya lupa akibat kesibukan pekerjaan, atau akhirnya topik itu tidak menarik lagi untuk diulas.
Oleh karenanya, supaya tidak lupa, segera catat ide yang terlintas di dalam benak kita, ke dalam block note. Selain notes atau block note, kita bisa simpan ide ke dalam menu pesan pendek/sms di handphone, communicator, dan folder khusus di dalam laptop.
Sebaiknya, memampatkan ide tsbt ke dalam sebuah judul. Mengapa ”Judul”? Karena judul itu menyederhanakan gagasan ke dalam bentuk yang singkat. Ide berupa judul paling tidak sudah menggambarkan pikiran kreatif kita.
Bisa pula saat itu kamu sudah menemukan judul dan beberapa data pendukung yang ingin kamu masukkan ke dalam tulisan.
Jangan lupa untuk mengolah ide menjadi satu tulisan utuh. Ketika kita bakal mengolah satu judul menjadi tulisan, jabarkan Judul itu ke dalam Outline (kerangka tulisan).
Outline atau kerangka tulisan membantu kita dalam menentukan bentuk/isi tulisan. Kerangka tulisan ini bisa berupa tulisan per paragraf/alinea.
Supaya ide tidak menguap karena ’basi’ atau kelamaan dan terlupakan, deadline menjadi cara terbaik untuk merealisasikan ide. Yah, kalau untuk advertorial atau pemuatan artikel yang memang tugas kantor saya sehari-hari, maka tulisan itu memiliki tenggat tayang yang sudah menjadi harga mati.
Nah, bagaimana kalau kita perlakukan pula tulisan di blog dengan tenggat publikasi atau deadline pula?!
(Gambar : Koran Tempo, Info Belanja 27-4-2007, dedicted to Adidas)
Friday, August 7, 2009
Kiat Menulis : Jangan Terlalu Tenggelam dalam Data
(Dimuat di Netsains.com, 30-8-2007)
Menulis membutuhkan data. Namun ada problem lain muncul saat kita menyimpan data tertentu terlalu lama. Apakah itu?
Salah satu unsur dalam tulisan adalah data. Meskipun kita menulis fiksi, tetap saja ada hal-hal yang tidak bisa ngibul dan musti fakta. Misalkan saja jika membuat cerita berlatar belakang sejarah.
Akan tetapi, kesibukan mencari data penunjang, bisa saja membuat kita justru lupa untuk mulai menulis ide kita.
Belum lama ini saya membaca buku "Berani Berekspresi" karya Susan Shaughnessy, yang diterbitkan oleh Penerbit MLC (2004). Buku berisi berbagai renungan penulis yang selesai dalam satu halaman, sehingga setiap halaman berisi kutipan berbeda, yang diperkirakan dapat memotivasi niat menulis dari pembacanya.
Satu hal yang mengena ada pada halaman 107. Kata-katanya saya kutip lebih kurang seperti ini : … Riset adalah sebuah godaan. Hanya sedikit yang bisa ditulis tanpa riset; akan tetapi, riset bisa menghambat tulisan. Ia bisa menyerap habis waktu menulis hari ini. .. Kita harus menerapkan batas, dan mulai menulis dengan data yang ada.
"Aku akan mengakui bahwa waktu untuk menulis sudah tiba. Aku akan menerima keterbatasan risetku, dan menulis apa yang kubisa dengan bahan-bahan yang sudah kumiliki."
Pada intinya, Ibu Susan menyentil saya bahwa, "Jangan tenggelam dalam pengumpulan data".
Kadang kita merasa data yang kita kumpulkan belum cukup, dan menjadi merasa bersalah karena "tidak cukup tahu". Kadang kita sudah memiliki ide dalam membuat tulisan. Namun, sering pula kita beralasan artikel yang rencananya kita buat masih memerlukan informasi lagi. Masih perlu browsing internet, bongkar-bongkar buku yang di simpan entah dimana (alias lupa taruh) atau alasan lainnya.
Namun 1 hari hanya terdiri dari 24 jam yang terbagi lagi ke dalam waktu untuk bekerja, urusan keluarga, sosialisasi, makan, dan tidur. Jam yang kita luangkan untuk menulis dalam sehari, terbatas.
Gara-gara kita merasa data yang sudah dikumpulkan belum memadai, kita biarkan data tersebut menjadi kumpulan coretan di dalam notes. Tidak diolah. Dan, notes kemudian menjadi tumpukan pemenuh laci meja. Pada akhirnya, kita lupa. Kalaupun ingat, kita sudah malas untuk menulis ide yang dahulu terbersit di dalam kepala.
Kerangka
Dalam berbagai buku-buku komunikasi tentang panduan menulis, kita sering diingatkan untuk membuat kerangka tulisan (outline), yaitu garis-garis besar untuk membuat struktur tulisan. Kerangka tulisan memberi gambaran tulisan kita agar fokus, singkat, jelas dan padat. Berdasarkan outline yang kita buat tersebut, akan menuntun kita membuat satu bentuk tulisan.
Baik, silahkan buat outline terlebih dahulu berdasarkan data yang ada. Setelah itu? Ibarat puzzle, cari data yang kurang untuk melengkapi tulisan. Jangan lupa tentukan deadline. Yaitu, tenggat waktu tulisan tersebut harus selesai. Dengan demikian, kita telah mampu merencanakan, melaksanakan dan menyelesaikan suatu proyek tulisan.
Jika dalam pencarian data yang kurang, kita menemukan hal-hal lain yang sepertinya belum sesuai fokus outline kita, silahkan simpan juga. Siapa tahu data tersebut dapat dikembangkan di kemudian hari. Dalam bentuk tulisan dengan angle berbeda, atau dengan informasi lebih baru.
Menulis membutuhkan data. Namun ada problem lain muncul saat kita menyimpan data tertentu terlalu lama. Apakah itu?
Salah satu unsur dalam tulisan adalah data. Meskipun kita menulis fiksi, tetap saja ada hal-hal yang tidak bisa ngibul dan musti fakta. Misalkan saja jika membuat cerita berlatar belakang sejarah.
Akan tetapi, kesibukan mencari data penunjang, bisa saja membuat kita justru lupa untuk mulai menulis ide kita.
Belum lama ini saya membaca buku "Berani Berekspresi" karya Susan Shaughnessy, yang diterbitkan oleh Penerbit MLC (2004). Buku berisi berbagai renungan penulis yang selesai dalam satu halaman, sehingga setiap halaman berisi kutipan berbeda, yang diperkirakan dapat memotivasi niat menulis dari pembacanya.
Satu hal yang mengena ada pada halaman 107. Kata-katanya saya kutip lebih kurang seperti ini : … Riset adalah sebuah godaan. Hanya sedikit yang bisa ditulis tanpa riset; akan tetapi, riset bisa menghambat tulisan. Ia bisa menyerap habis waktu menulis hari ini. .. Kita harus menerapkan batas, dan mulai menulis dengan data yang ada.
"Aku akan mengakui bahwa waktu untuk menulis sudah tiba. Aku akan menerima keterbatasan risetku, dan menulis apa yang kubisa dengan bahan-bahan yang sudah kumiliki."
Pada intinya, Ibu Susan menyentil saya bahwa, "Jangan tenggelam dalam pengumpulan data".
Kadang kita merasa data yang kita kumpulkan belum cukup, dan menjadi merasa bersalah karena "tidak cukup tahu". Kadang kita sudah memiliki ide dalam membuat tulisan. Namun, sering pula kita beralasan artikel yang rencananya kita buat masih memerlukan informasi lagi. Masih perlu browsing internet, bongkar-bongkar buku yang di simpan entah dimana (alias lupa taruh) atau alasan lainnya.
Namun 1 hari hanya terdiri dari 24 jam yang terbagi lagi ke dalam waktu untuk bekerja, urusan keluarga, sosialisasi, makan, dan tidur. Jam yang kita luangkan untuk menulis dalam sehari, terbatas.
Gara-gara kita merasa data yang sudah dikumpulkan belum memadai, kita biarkan data tersebut menjadi kumpulan coretan di dalam notes. Tidak diolah. Dan, notes kemudian menjadi tumpukan pemenuh laci meja. Pada akhirnya, kita lupa. Kalaupun ingat, kita sudah malas untuk menulis ide yang dahulu terbersit di dalam kepala.
Kerangka
Dalam berbagai buku-buku komunikasi tentang panduan menulis, kita sering diingatkan untuk membuat kerangka tulisan (outline), yaitu garis-garis besar untuk membuat struktur tulisan. Kerangka tulisan memberi gambaran tulisan kita agar fokus, singkat, jelas dan padat. Berdasarkan outline yang kita buat tersebut, akan menuntun kita membuat satu bentuk tulisan.
Baik, silahkan buat outline terlebih dahulu berdasarkan data yang ada. Setelah itu? Ibarat puzzle, cari data yang kurang untuk melengkapi tulisan. Jangan lupa tentukan deadline. Yaitu, tenggat waktu tulisan tersebut harus selesai. Dengan demikian, kita telah mampu merencanakan, melaksanakan dan menyelesaikan suatu proyek tulisan.
Jika dalam pencarian data yang kurang, kita menemukan hal-hal lain yang sepertinya belum sesuai fokus outline kita, silahkan simpan juga. Siapa tahu data tersebut dapat dikembangkan di kemudian hari. Dalam bentuk tulisan dengan angle berbeda, atau dengan informasi lebih baru.
Pertanyaan Esensial Dalam Menulis Iklan
(Eno, 24 Agustus 2008)
Perhatikan gambar berikut ini. Mata (eye = jika diucapkan, lafal terdengar hampir sama dengan pengucapan ”I” dalam Bahasa Inggris), Lebah (bee = dalam pengucapannya terdengar hampir sama dengan ”B” dalam Bahasa Inggris), dan garis horisontal tersusun teratur membentuk huruf ”M” yang khas untuk logo IBM.
Yap! Logo tersebut memang untuk IBM. Saya suka ide permainan kata/sanjak; atau permainan ucapan (akibat penulisan kata dan lafal yang berbeda seperti dalam Bahasa Inggris). Karena terdengar lebih ’unik’, terkesan lebih komunikatif, santai, namun bisa pula berpikir sejenak lalu tersenyum.
Contohnya seperti dalam logo tersebut. Bukan logo kaku seolah merepresentasikan dunia korporasi yang birokratis, formil dengan mengatas namakan ’profesionalisme’.
Nah, baru tahu setelah baca buku ”Citizen Brand” yang ditulis oleh Marc GobĂ© bahwa logo tersebut hasil kreatifitas Paul Rand. Rand, pencipta ilustrasi logo ABC, Westinghouse, UPS, dan IBM, sekaligus dosen Yale University serta desainer grafis paling berpengaruh di abad ke-20.
(Karya-karya Rand lainnya bisa dilihat dengan mengetikkan namanya sebagai kata kunci di Google -memang ini masih tetep situs pencarian favorit dan termudah dalam ingatan saya- bakal antara lain menghasilkan alamat www.logoblog.org).
Rand, mengutip dari buku Citizen Brand, mengatakan bahwa efektivitas logo berdasarkan 6 faktor penting, meliputi :
1. keunikan
2. visibilitas
3. kemampuan adaptasi
4. keterkenangan
5. universalitas
6. keabadian
Selain itu, menjawab tiga pertanyaan esensial :
1. siapa audiensinya?
2. bagaimana merek ini dipasarkan?
3. apa medianya?
Saya berpendapat, pertanyaan esensial itu pun cocok ketika kita membuat tulisan iklan (advertorial) di suatu media massa. Yang jika dijabarkan yaitu :
1. Fokus tulisan atau apa isu yang mau diangkat oleh pemasang iklan. Misalkan apakah topik yang mau diangkat itu menyangkut keunggulan produk, kegiatan kampanye perusahaan baik berkaitan bisnis maupun fungsi sosial (CSR), kemajuan yang dicapai berkaitan dengan ulang tahun korporasi dll.
2. Penggunaan kaidah tulisan non fiksi berupa data 5W + 1H
3. Siapa target pembaca (mengikuti segmen pembaca media pemasangan advertorial)
Berpegang dalam pertanyaan esensial untuk advertorial ini, dalam prakteknya penulis juga –mau tidak mau- harus memahami klien. Kita akan mengalami perbedaan gaya dengan konsep menulis berita yang independen. Wartawan perlu menyesuaikan dengan visi & misi media, gaya penulisan media, maupun segmen pembacanya.
Sementara karakter klien (pemasang iklan) bermacam-macam. Ada yang bertipe easy. Mereka tinggal membrief apa saja yang mereka mau dimuat (poin 1) dan selebihnya (di poin 2 dan 3) terserah pada penulis. Lalu setelah penulisan jadi, koreksi dan membaca ulang yang mereka lakukan, lebih kepada persoalan kebenaran atau kevalidan data dalam penulisan.
Ada pula yang bergaya toko serba ada. Istilah kerennya ’multiangle’. Alias semua musti masuk untuk dituliskan dalam 1 space yang mereka bayar. Misalkan komentar dari beberapa petinggi harus masuk semua. Atau meskipun tulisan menyangkut keunggulan A, si klien juga senang jika keunggulan lainnya B,C,...Z juga disinggung.
Sehingga, intinya penulis iklan harus mampu menerjemahkan kemauan klien.
(Gambar dikutip dari : www.logoblog.org)
Perhatikan gambar berikut ini. Mata (eye = jika diucapkan, lafal terdengar hampir sama dengan pengucapan ”I” dalam Bahasa Inggris), Lebah (bee = dalam pengucapannya terdengar hampir sama dengan ”B” dalam Bahasa Inggris), dan garis horisontal tersusun teratur membentuk huruf ”M” yang khas untuk logo IBM.
Yap! Logo tersebut memang untuk IBM. Saya suka ide permainan kata/sanjak; atau permainan ucapan (akibat penulisan kata dan lafal yang berbeda seperti dalam Bahasa Inggris). Karena terdengar lebih ’unik’, terkesan lebih komunikatif, santai, namun bisa pula berpikir sejenak lalu tersenyum.
Contohnya seperti dalam logo tersebut. Bukan logo kaku seolah merepresentasikan dunia korporasi yang birokratis, formil dengan mengatas namakan ’profesionalisme’.
Nah, baru tahu setelah baca buku ”Citizen Brand” yang ditulis oleh Marc GobĂ© bahwa logo tersebut hasil kreatifitas Paul Rand. Rand, pencipta ilustrasi logo ABC, Westinghouse, UPS, dan IBM, sekaligus dosen Yale University serta desainer grafis paling berpengaruh di abad ke-20.
(Karya-karya Rand lainnya bisa dilihat dengan mengetikkan namanya sebagai kata kunci di Google -memang ini masih tetep situs pencarian favorit dan termudah dalam ingatan saya- bakal antara lain menghasilkan alamat www.logoblog.org).
Rand, mengutip dari buku Citizen Brand, mengatakan bahwa efektivitas logo berdasarkan 6 faktor penting, meliputi :
1. keunikan
2. visibilitas
3. kemampuan adaptasi
4. keterkenangan
5. universalitas
6. keabadian
Selain itu, menjawab tiga pertanyaan esensial :
1. siapa audiensinya?
2. bagaimana merek ini dipasarkan?
3. apa medianya?
Saya berpendapat, pertanyaan esensial itu pun cocok ketika kita membuat tulisan iklan (advertorial) di suatu media massa. Yang jika dijabarkan yaitu :
1. Fokus tulisan atau apa isu yang mau diangkat oleh pemasang iklan. Misalkan apakah topik yang mau diangkat itu menyangkut keunggulan produk, kegiatan kampanye perusahaan baik berkaitan bisnis maupun fungsi sosial (CSR), kemajuan yang dicapai berkaitan dengan ulang tahun korporasi dll.
2. Penggunaan kaidah tulisan non fiksi berupa data 5W + 1H
3. Siapa target pembaca (mengikuti segmen pembaca media pemasangan advertorial)
Berpegang dalam pertanyaan esensial untuk advertorial ini, dalam prakteknya penulis juga –mau tidak mau- harus memahami klien. Kita akan mengalami perbedaan gaya dengan konsep menulis berita yang independen. Wartawan perlu menyesuaikan dengan visi & misi media, gaya penulisan media, maupun segmen pembacanya.
Sementara karakter klien (pemasang iklan) bermacam-macam. Ada yang bertipe easy. Mereka tinggal membrief apa saja yang mereka mau dimuat (poin 1) dan selebihnya (di poin 2 dan 3) terserah pada penulis. Lalu setelah penulisan jadi, koreksi dan membaca ulang yang mereka lakukan, lebih kepada persoalan kebenaran atau kevalidan data dalam penulisan.
Ada pula yang bergaya toko serba ada. Istilah kerennya ’multiangle’. Alias semua musti masuk untuk dituliskan dalam 1 space yang mereka bayar. Misalkan komentar dari beberapa petinggi harus masuk semua. Atau meskipun tulisan menyangkut keunggulan A, si klien juga senang jika keunggulan lainnya B,C,...Z juga disinggung.
Sehingga, intinya penulis iklan harus mampu menerjemahkan kemauan klien.
(Gambar dikutip dari : www.logoblog.org)
Monday, August 3, 2009
Dua Gelar Hingga Jenjang Master
Program internasional Universitas Gunadarma dalam 4 tahun untuk meraih sarjana strata-1 sekaligus pascasarjana. Relatif singkat dan bekal bersaing di zaman global.
Ketik kata kunci “globalisasi” di Google. Bakal keluar sekitar 1,8 juta hasil yang berkaitan dengan kata tersebut.
Globalisasi memang hal yang dihadapi saat ini di berbagai bidang, termasuk di bidang pendidikan. Tantangan bukan lagi bersaing di dalam negeri, melainkan menjadi perguruan tinggi Indonesia yang terakui di dunia internasional.
Salah satu upaya mensejajarkan diri dengan universitas di luar negeri adalah bekerjasama dengan kampus asing dan membuka kelas internasional. Kelas ini memberikan kesempatan kepada mahasiswanya agar lulus dan bersertifikat dual degree.
Singkatnya dual degree adalah program yang memungkinkan mahasiswa mendapatkan dua gelar. Pada program ini sebuah kampus bekerja sama dengan kampus lainnya, kebanyakan bermitra dengan kampus luar negeri, yang reputasinya sudah bagus.
Ada dua jenis model kerjasama dalam dual degree. Yaitu advance standing, sebagian masa pendidikan dihabiskan di kampus lokal dan sebagian lagi di kampus asing. Misalnya, berpola 2+2, artinya, dua tahun pendidikan di Indonesia, lalu dua tahun berikutnya di kampus asing. Nantinya, lulusan memperoleh gelar dari dua kampus sekaligus.
Model kerjasama kedua, yaitu twinning program, artinya kampus lokal mendapat lisensi pendidikan kampus asing untuk dikelola di Indonesia.
Adapula yang mengemas program internasional untuk jenjang strata-1 atau bachelor hingga strata-2 atau master sekaligus. Ini seperti yang dilakukan oleh Universitas Gunadarma dengan menggandeng Universite de Bourgogne (UB) Perancis.
Program relatif singkat, yaitu 4 tahun dalam perkuliahan sebanyak 12 trimester. Terdiri dari 9 trimester untuk strata bachelor yang berlangsung di Gunadarma. Setelah itu melanjutkan program master selama 3 trimester di UB.
Peserta bisa memilih 2 program pendidikan. Pertama, program bachelor untuk Information Technology atau Information System yang diteruskan ke jenjang master untuk Management Information System (MIS).
Pilihan kedua, yaitu program bachelor bidang Electrical Engineering yang lanjut ke jenjang master bidang Electrical Engineering juga.
Nilai kompetitif tentu saja pada singkatnya masa perkuliahan sekaligus memperoleh pendidikan internasional sebagai bekal bersaing di zaman global.
Kepala Biro Administrasi dan Sistem Informasi Universitas Gunadarma, Budi Hermana, menambahkan program internasional tersedia pula untuk jurusan Akuntansi, Teknologi Informasi (TI), teknik sipil dan Elektro. ”Program studi kami desain sebagai kelas internasional. Berbentuk dual degree, bekerjasama bersama universitas luar negeri, bahasa Inggris sebagai pengantar studi, dan profesor tamu dari luar negeri.”
”Ini cuma kelas kecil, paling banyak hanya 15 mahasiswa (dalam satu angkatan),” imbuh Budi.
Menurut Budi, kelas internasional ini sebagai bagian dari mengejar visi kampus berperiode 2007-2011.
Universitas Gunadarma, salah satu perguruan tinggi swasta yang mengutamakan Teknologi Informasi (TI) di dalam kurikulum studi dan lingkungan kampus, memiliki visi menjadi universitas berbasis teknologi informasi terkemuka di Indonesia dan diakui di lingkungan global.
Dalam mengejar visi yang dijalankan selama 5 tahun, menurut Budi Hermana, ada berbagai parameter pencapaian yang menyangkut keterlibatan universitas di dunia internasional.
Yaitu, adanya publikasi internasional keluaran perguruan tinggi, ada profesor tamu dari luar negeri datang mengajar, riset bersama, menggelar acara seminar berskala internasional, kerjasama dengan institusi internasional, dan kehadiran mahasiswa asing menimba ilmu di Gunadarma.
(Majalah Tempo, 3-9 Agustus 2009)
Ketik kata kunci “globalisasi” di Google. Bakal keluar sekitar 1,8 juta hasil yang berkaitan dengan kata tersebut.
Globalisasi memang hal yang dihadapi saat ini di berbagai bidang, termasuk di bidang pendidikan. Tantangan bukan lagi bersaing di dalam negeri, melainkan menjadi perguruan tinggi Indonesia yang terakui di dunia internasional.
Salah satu upaya mensejajarkan diri dengan universitas di luar negeri adalah bekerjasama dengan kampus asing dan membuka kelas internasional. Kelas ini memberikan kesempatan kepada mahasiswanya agar lulus dan bersertifikat dual degree.
Singkatnya dual degree adalah program yang memungkinkan mahasiswa mendapatkan dua gelar. Pada program ini sebuah kampus bekerja sama dengan kampus lainnya, kebanyakan bermitra dengan kampus luar negeri, yang reputasinya sudah bagus.
Ada dua jenis model kerjasama dalam dual degree. Yaitu advance standing, sebagian masa pendidikan dihabiskan di kampus lokal dan sebagian lagi di kampus asing. Misalnya, berpola 2+2, artinya, dua tahun pendidikan di Indonesia, lalu dua tahun berikutnya di kampus asing. Nantinya, lulusan memperoleh gelar dari dua kampus sekaligus.
Model kerjasama kedua, yaitu twinning program, artinya kampus lokal mendapat lisensi pendidikan kampus asing untuk dikelola di Indonesia.
Adapula yang mengemas program internasional untuk jenjang strata-1 atau bachelor hingga strata-2 atau master sekaligus. Ini seperti yang dilakukan oleh Universitas Gunadarma dengan menggandeng Universite de Bourgogne (UB) Perancis.
Program relatif singkat, yaitu 4 tahun dalam perkuliahan sebanyak 12 trimester. Terdiri dari 9 trimester untuk strata bachelor yang berlangsung di Gunadarma. Setelah itu melanjutkan program master selama 3 trimester di UB.
Peserta bisa memilih 2 program pendidikan. Pertama, program bachelor untuk Information Technology atau Information System yang diteruskan ke jenjang master untuk Management Information System (MIS).
Pilihan kedua, yaitu program bachelor bidang Electrical Engineering yang lanjut ke jenjang master bidang Electrical Engineering juga.
Nilai kompetitif tentu saja pada singkatnya masa perkuliahan sekaligus memperoleh pendidikan internasional sebagai bekal bersaing di zaman global.
Kepala Biro Administrasi dan Sistem Informasi Universitas Gunadarma, Budi Hermana, menambahkan program internasional tersedia pula untuk jurusan Akuntansi, Teknologi Informasi (TI), teknik sipil dan Elektro. ”Program studi kami desain sebagai kelas internasional. Berbentuk dual degree, bekerjasama bersama universitas luar negeri, bahasa Inggris sebagai pengantar studi, dan profesor tamu dari luar negeri.”
”Ini cuma kelas kecil, paling banyak hanya 15 mahasiswa (dalam satu angkatan),” imbuh Budi.
Menurut Budi, kelas internasional ini sebagai bagian dari mengejar visi kampus berperiode 2007-2011.
Universitas Gunadarma, salah satu perguruan tinggi swasta yang mengutamakan Teknologi Informasi (TI) di dalam kurikulum studi dan lingkungan kampus, memiliki visi menjadi universitas berbasis teknologi informasi terkemuka di Indonesia dan diakui di lingkungan global.
Dalam mengejar visi yang dijalankan selama 5 tahun, menurut Budi Hermana, ada berbagai parameter pencapaian yang menyangkut keterlibatan universitas di dunia internasional.
Yaitu, adanya publikasi internasional keluaran perguruan tinggi, ada profesor tamu dari luar negeri datang mengajar, riset bersama, menggelar acara seminar berskala internasional, kerjasama dengan institusi internasional, dan kehadiran mahasiswa asing menimba ilmu di Gunadarma.
(Majalah Tempo, 3-9 Agustus 2009)
Semangat Hijau Chevy di Nusakambangan
Majalah Tempo, edisi 27 Juli-2 Agustus 2009
GM Indonesia - GM Go Green
Semangat Hijau Chevy di Nusakambangan
Chevrolet menanam 1.000 pohon di Nusakambangan. Bukti implementasi semangat The New GM – Customers, Cars, dan Culture.
Sabtu siang 18 Juli, jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul 11.30 siang. Mentari terik menyengat tak menghapus wajah ceria puluhan orang yang berada di areal terbuka Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Nusakambangan.
Dalam busana kaus-T dan topi, beberapa peserta didampingi istri dan anak, tampak sibuk mencangkul, menanam bibit pohon ke dalam tanah galian, lalu menguruk kembali tanah, dan menyiramkan air keatasnya.
Hari itu komunitas klub Chevrolet yang tergabung dalam Blazer Indonesia Club (BIC), Aveo Club Indonesia (ACI), Komunitas Trooper Indonesia (KTI) dan Chevrolet Captiva Club (CCC), menanam pohon di areal terbuka Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Narkotika Nusakambangan.
Tak ada gurat lelah di wajah. Padahal anggota klub serempak berkendara dengan mobil Chevrolet-nya masing-masing dari Jakarta menuju Cilacap-Nusakambangan melalui jalur selatan pulau Jawa, menempuh jarak sekitar 350 kilometer dalam waktu 10 jam.
Mereka semangat terlibat dalam aksi penghijauan dengan menanam 1.000 pohon produktif seperti mangga, durian, kelengkeng, dan rambutan. Jenis tanaman produktif ini memberi manfaat memberi hasil tanpa harus mengambil kayu, sehingga vegetasi tanaman terjaga.
Kegiatan bertajuk ”Chevy Go Green-Program Bhakti Sosial 1000 Pohon” diselenggarakan oleh GM Autoworld Indonesia (GMAI) selaku ATPM mobil merek Chevrolet di Indonesia, sebagai bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) dan mendukung program penghijauan Pemerintah.
Pulau Nusakambangan berada di lepas pantai Laut Jawa. Termasuk dalam wilayah Tingkat II Cilacap, Provinsi Jawa Tengah, khusus diperuntukkan bagi narapidana kelas kakap. Namun ternyata pohon yang ada di pulau seluas lebih kurang 11.500 hektare ini menggiurkan untuk dijarah.
Seperti diungkapkan oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Cilacap, Sudjiman, pada 2001 terjadi illegal logging seluas lebih kurang 1.000 hektare di Nusakambangan.
Selain itu terjadi perambahan pemukiman. Solusinya, ”Kami merumahkan 1.000 kepala keluarga. Kini pemerintah memasukkan Nusakambangan sebagai cagar alam dan hutan lindung,” kata Sudjiman.
Pada kesempatan sama, Kepala Lapas Narkotika Nusakambangan, Marwan Adli, mengatakan kegiatan ini semoga memberi motivasi bagi perusahaan lain untuk melakukan penghijauan.
”Semoga kedatangan kemari mengubah pandangan Anda bahwa Nusakambangan tidak seseram pemikiran di benak selama ini,” ujar Marwan.
Chevrolet memang secara terus-menerus mengimplementasikan semangat hijau-nya, sekaligus menjaga kelestarian dan warisan alam Indonesia. ”Dalam acara ini kami ingin mengimplementasikan semangat The New GM, yaitu fokus terhadap pelayanan kepada pelanggan (Customers), keunggulan produk (Cars), dan Culture (Tradisi-Budaya),” kata Debora Amelia Santoso, Marketing dan Public Relations Director GMAI.
Jarak Jakarta-Cilacap membuktikan kekuatan otomotif asal Amerika Serikat itu. Sementara fokus kepada tradisi dan budaya tercermin dalam pemilihan lokasi aksi penghijauan, dimana Cilacap berada di antara Majenang dan Purwokerto yang memiliki populasi Chevrolet Luv, Blazer dan Trooper yang cukup besar."Keberadaan Chevrolet di Majenang, Purwokerto dan Cilacap sudah sangat melekat di hati dan keseharian masyarakat setempat sejak dulu. Tradisi ini patut diapresiasi," tambah Amelia.
Acara yang juga sekaligus digelar untuk memperingati hari jadi peluncuran Chevrolet Captiva di Indonesia yang jatuh pada 7 Juli 2009. Di penghujung acara anggota Klub Chevrolet, staf GM Indonesia dan media makan siang bersama dengan para warga binaan pemasyarakatan LP Narkoba. Penampilan tiga penyanyi dangdut Trio Macan melengkapi semaraknya aksi GM Go Green. (INFORIAL)
Subscribe to:
Posts (Atom)